Perempuan Perkasa


WAJAHNYA tampak lelah, seharian dia berada di tengah sawah.  Memotong dan mencabut gulma yang menghambat pertumbuhan padinya. Ia segera berdiri dan berusaha memperbaiki posisi punggungnya yang dari tadi membungkuk. Matahari berada pas di atas kepalanya bersinar terik.

Ibu- Seorang Ibu dengan anaknya
Ia pun beranjak dari tempatnya menuju ke pematang sawah yang dilindungi oleh rindangnya pohon mangga. Daunnya yang lebat mampu melindungi tubuh itu dari sinar matahari. Perlahan-lahan ia melepaskan topi kerucutnya, bentuknya yang lebar mampu menahan panasnya terik matahari.

Selain topi ia pun membuka sehelai baju tipis yang dijadikan sebagai topeng. Angin pun perlahan-lahan bertiup dari arah barat sehingga rambutnya yang setengah bahu itu terurai, disela-sela rambutnya sudah tampak rambutnya yang mulai memutih. Ia berhenti sejenak, kemudian mencuci kakinya yang penuh lumpur itu dengan air parit yang mengalir tenang di depannya.

Ha...ia pun mendesah pelan seakan-akan mengeluarkan rasa capeknya setelah setengah hari berendam di tengan sawah sambil memotong gulma dengan pisau besi di tangannya.

Kakinya tampak memutih dan keriput-keriput karena terlalu lama berendam dengan air sawah. Ia pun merasakan kakinya mulai gatal-gatal karena protozoa yang ada di air sawah itu mulai mendapat makan segar. Ah... biar saja. Protozoa-protozoa kecil ini pun akan nanti menjaga padi-padiku, menjadi kandungan makanan bagi padi-padiku sehingga nantinya akan beranak dan berbuah banyak. Ini untukku juga dan keluargaku. Ia tampak tersenyum simpuh melihat seekor burung pipit jantan yang berusaha membuat sarang di atas pohon mangga tempatnya berteduh.

Ia meresakan kebahagiaan yang begitu damai, menyaksikan burung pipit itu membawa selembar demi selembar ilalang coklat kemudian dikumpulkannya menjadi sarang. Pipit betina pun menyambutnya gembira dengan bahasanya yang khas.


Perempuan bertubuh kurus itu yang menyaksikan aksi pipit tadi hanya bisa tersenyum menyaksikan keluarga pipit yang hidup dengan sederhana. Mungkin sarang yang mereka bikin itu akan selesai besok, jadi pipit betina akan merasa nyaman mengeluarkan telurnya sampai ia mengeram telur-telurnya pipit baru lagi akan melengkapi keluarga yang sederhana ini.

Perempuan itu pun mulai merasa perutnya patut untuk diisi. Ia pun membuka bungkusan kain berwarna biru yang dibawanya dari rumahnya. Bungkusan ini berisikan makanan siangnya; nasi putih, sayur bayam, dan ikan kering goreng yang dibikinnya tadi subuh sebelum ia berangkat ke sawah. Ia pun menyantap makananya pelan.

Angin sepoi-sepoi meniup padi-padi menghijau bak gelombang laut yang saling kejar-kejaran. Di sampingnya suara bunyi air mengalir dengan tenangnya, seakan-akan membentuk satu alunan hidup yang menemaninya makan siang. Ada kesepian yang dia rasakan, tapi rasa sepi itu kemudia hilang setelah ia memalingkan muka dan menyaksikan keluarga pipit kini menyambut datangnya anggota keluarga barunya.

***
Perempuan itu adalah ibuku. Perempuan yang sangat kukagumi dari rahimnya aku lahir. Dengan air susunyalah aku tumbuh menjadi manusia. Ibu yang merana yang harus ditinggalkan oleh suaminya karena takdir kejam telah tertulis di garis tangannya. Ia kini menjadi sindiri membesarkan kedua anak perempuannya yang telah tumbuh menjadi remaja yang lincah.

Sejak ayah meninggal ibulah yang mengerjakan semua tugas ayah. Ibu adalah ibu kami sekaligus ayah kami yang bertanggungjawab menafkahi anaknya. Aku dan adikku tak sanggup melawan keinginan ibu. Berkali-kali aku sudah mencegah ibu agar tak terlalu memaksakan diri untuk kerja keras. Kami tak perlu dengan harta yang melimpah. Ibu harus menerima rezeki yang kami terima sekarang ini tak sebesar dengan rezeki yang kami dapat saat ayah masih ada. Ini kenyataan dan mulai dari sekarang kami harus belajar untuk memahami kenyataan yang ada.

Berkali-kali aku menegur ibu saat ibu memaksa keras untuk ikut maddaros sampai ke kabupaten sebelah hanya untuk mendapatkan gaji Rp 15 ribu perak perharinya. Ibu berangkat pagi-pagi sekali menaiki mobil terbuka dengan muatan yang tak selayaknya. Ibu dan sekitar 40 orang temannya naik mobil tanpa fasilitas tempat duduk. Ini sama sekali menyalahi aturan departemen perhubungan dan sangat membahayakan nyawa manusia. Di sana ibu harus berkelahi dengan sinar matahari yang terik dan perjalanan sampai berkilo-kilo untuk sampai pada sawah yang akan di panen.

Ibu yang berwatak keras tak pernah mau mendengarku. Yang ada dalam pikiranya ia harus berusaha bagaimana membiayai keperluaan sehari-harinya tanpa harus mengganggu gugat tabungan hasil kerja kerasnya bersama ayah. Baginya tabungan itu sangat berharga karena tabungan itu didapatkan dengan susah payah bersama ayah. Dalam tabungan itu terserap butir-butir keringat mereka saat menyemai padi sampai padi itu ada di tangan tengkulak.

Angin malam berhembus pelan. Baru saja kami telah makan malam menikmati menu paforit kami; nasi putih, sayur bening dan ikan asing bakar yang disiram dengan minyak kelapa. Napasku terasa berat. Aku memberanikan diri untuk bicara dengan ibu memabahas kembali yang aku katakan pada ibu tempo hari yakni melarang ibu untuk pergi maddaros. Tapi nihil usahaku sia-sia dan tidak berhasil. Ibu malah membacakan pidatonya.

”Ibu takkan berhenti untuk ikut maddaros selama masih musim panen dan Allah juga masih meminjami umur dan kesehatan,” jawab ibu tegas. Suasana menjadi hening. Ia pun kemudian mulai bercerita, menceritakan kisah hidupnya yang malang.  

Ibu sangat menghargai tabungan itu. Jadi ia harus mentaktitisi agar tabungan itu tak terpakai. Barangkali itu menjadi dana jaga-jaga, dana taktis jika hal tak terduga datang.

Ibu sudah menjadi yatim sejak berumur tiga tahun jadi sedemikian rupa ibu sudah belajar untuk mandiri. Irit adalah sifat khas ibu, tapi irit bukan berarti pelit. Demikian juga ayah. Ayah pun sudah menjadi piatu sejak umur 5 tahun. Paling tidak ayah dan ibu dipertemukan dengan nasib. Kisah ayah lebih tragis lagi, sejak ibunya meninggal ia harus melawan nasib yang begitu tragis. Menjadi gembala cilik melewati padang rumput, mengembalakan sapi-sapi tetangganya hanya dengan upah satu ekor anak sapi jika kelak sapi yang digembalakan itu melahirkan.

Ayah hidup di ’persimpangan’ tak punya tempat tinggal yang tetap. ”Ayahmu jarang di rumah lamanya apalagi di rumah baru tempat kakekmu dan istri mudanya. Ayahmu lebih senang tinggal di rumah tante-tantenya dan hidup dari balas kasihan tante-tantenya yang mengajaknya makan. Dan ayah pun menikmati nasibnya sampai ia dewasa,”kata ibu.

Ayah tak betah tinggal di rumah kakek yang sudah beristri muda. Hidup kakek masih tetap melarat dan kebisaan berjudi masih sering dilakoninya. ”Setiap kali ke sana ayahmu pasti sakit parah. Bahkan sampai berbulan-bulan,” tambah ibu.

Ayah pernah bercerita mengapa ia tak bisa membaca dengan lancar. Itu karena ayah memang tak tamat sekolah dasar. Waktu itu ayah duduk di kelas empat SD menjelang ujian kenaikan kelas ayah sakit. Ayah tertinggal mata pelajaranya karena terserang penyakit aneh. Berbulan-bulan ayah sakit, seluruh badannya kaku tak dapat digerakkan. Mulutnya seakan-akan terkunci tak mampu mengeluarkan kata-kata satu pun. Ia menjadi bisu dalam kepedihannya. Dan itulah yang membuat ayah sedikit gagap.

Anehnya, walaupun ayah tak pernah masuk sekolah selama satu tahun ayah masih tetap naik kelas. Tapi ayah tak berniat untuk melanjutkan sekolah. Ekonomi sudah menjadi alasan klasik. Lagi pula ayah tak dapat menerima keputusan gurunya untu naik kelas. Lebih baik tinggal kelas sekalian, karena ia merasa belum layak untuk itu.

Ayah memilih menjadi gembala sapi.  Hasil gembala sapi inilah telah mengubah segalanya. Kakek yang memang melarat kemudian menjual seekor sapi ayah sebagai modalnya untuk merantau ke Pulau Kalimantan. Kakek pulang dari rantauan dan menjadi perantau yang sukses. Ia membangun rumah mewah dari kayu hitam pilihan dan menjadi pengusaha kayu yang sukses. Boleh dikata kakaek sudah kembali ke jalan yang benar dan hidup berlandaskan agama dan meninggalkan kebiasaan berjudinya.

”Sampai akhirnya ibu dan ayahmu dipertemukan. Keluarga besar telah menjodohkan kami. Ayahmu adalah laki-laki pertama dan terakhir yang ibu cintai. Untuk itu ibu ingin melanjutkan harapan ayahmu. Melihat kalian berdua jadi ’orang’. Keluarga kita bukan siapa-siapa. Kita tidak punya orang dalam yang bisa membatu kalian untuk menjadi orang. Itulah sebabnya ibu mau berkelahi denga waktu menyisakan waktu ini untuk bekerja, semua ini untuk kalian Nak,” kata ibu.

Tapi Ibu, kami tak perlu itu ibu, kami takut terjadi sesuatu dengan ibu. Ingat kesehatan ibu. Akhir-akhir ini ibu sering mengeluh sakit dengan bekas operasi gondok ibu. Kami takut Bu.

Ibu yang matanya sembab terus menjelaskan diiringi lantunan lagu menunggu yang dinyanyikan oleh penyanyi favorit ayah Rhoma Irama. Mendengarkan nyanyian Rhoma Irama sama halnya dengan mengingat ayah. Ayah yang punya bakat tersembunyi dianugerahi suara yang merdu melantunkan lagu favoritnya, tiada hari tanpa Rhoma Irama. Tak heran lagu-lagu itu kami hafal tanpa harus melihat teksnya.

”Semuanya butuh uang Nak, orang-orang itu takkan melirik kita jika kita tidak punya uang. Uang adalah segalanya. Tak heran orang-oarang tergila-gila dengan uang karena uang dapat membeli jabatan, kedudukan harkat, dan martabat manusia. Manusia yang terpandang adalah manusia yang punya banyak uang. Jika salah-salah tak mendapatkan uang bahkan membuat orang saling membunuh bahkan menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa. Tak ada uang sama halnya kami mengantarmu ke kehidupan tragis yang telah kami lalui dan itu sama sekali bukan tujuan kami.

”Ibu tak perlu khawatirkan kami, kami dapat mencapai cita-cita ibu tanpa harus mengeluarkan pejabat daerah untuk dimasukkan dalam daftar pegawainya. Kami punya kemauan Bu, dan kami punya bakat itu. Mudah-mudahan bangsa ini masih membutuhkan putra-putrinya seperti kami yang tulus. Kami sadar tantangan kami ke depan sungguhlah berat Bu, tetapi tekat kami takkan surut. Bayangan ayah selalu mengiringi langkah kami. Dan nasehat-nasehat ayah masih terus teriang di telinga kami. Kami butuh ibu, dan kami tak mau ibu kenapa-kenpa. Cukuplah kami kehilangan ayah, kami harap ibu dapat mengerti maksud kami.          


Makassar, 2007
Oleh Sang sahabat, Suryana Anas (Reporter Tribun Timur)

1 Response to "Perempuan Perkasa"

gravatar
Armand Says:

Karya tterbaik dari pewarta Tribun Timur.. Suryana Anas... maju terus karya2 nya kak... heheheheee

Posting Komentar

Silahkan beri komentar dan jangan komentar spam ya. thanks :):